“...Yang Baik belum
tentu Benar di mata Allah...”
Sambungan artikel PERTAMA | ‘Menjadi Liberal Tanpa Sadar'
ADA lima paham berbahaya yang patut dicurigai umat Islam,
yang selama ini sudah digencarkan sebagai bentuk penjajahan model baru
(neokolonialism) dengan cara menyebarkan ide-ide pemikirannya (ghazwul fikr)
terhadap negara-negara lain secara global (globalisasi). Di antaranya;
- nihilisme (sederhananya, pengingkaran terhadap tuhan)
- relativisme (tidak ada kebenaran yang mutlak)
- anti-otoritas (tidak ada klaim kebenaran)
- pluralisme-multikulturalisme (tidak ada yang paling benar)
- equality (kesetaraan)
- feminisme/gender (tidak ada yang fitrah antara laki-laki dan perempuan).
Serbuan paham liberalisme dan relativisme mengguyur umat
Islam sampai tak terasa membedakan; tauhid-syirik, haq-bathil, antara iman
dan kufur.
Beberapa contoh pernyataan yang terpengaruh paham
relativisme adalah seperti ini;
“Manusia itu relatif hanya Tuhan yang mutlak. Jadi, hanya
Tuhan saja yang paham kebenaran, sehingga manusia tidak boleh merasa benar
sendiri.”
“Meski dia bertato dan merokok, tapi dia seorang milyuner
dan dikenal dermawan.”
“Jangan liat chasing nya…..orang begajulan juga bisa sukses,
daripada berhijab tapi korupsi.”
Inilah salah satu paham relativisme kebenaran. Cara berpikir
relativisme sebenarnya paradoks dengan ucapannya sendiri. Alih-alih opininya
benar, namun sesungguhnya ia hanyalah menjadi pembela tanpa celah.
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti
nisbi atau relatif. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat
bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada
masing-masing orang dan budaya masyarakatnya.
Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan
pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik. Karena skeptis dan “Menjadi Liberal Tanpa Sadar”, orang
sudah tak jernih dan tak mampu mana haq dan mana bathil. Maka, orang berzina,
menenggak alkohol, menjual barang haram, pelaku kejahatan, perilaku menyimpang
tidak akan dianggap SALAHdan JAHAT, kecuali banyak orang sepakat menyebutnya
SALAH dan JAHAT. Semua relatif, dan semua diserahkan “kesepakatan†yang
berlaku dan nilai ‘kepantasan’.
Bagi pembela paham liberalisme, tidak penting kerudung-dan
jilbabnya karena itu hanya kulit, tapi yang penting baik (isinya). Bagi
penganut liberal, tidak penting syariatnya (kulitnya), sebab yang penting
hasilnya (isinya).
Bagi kaum liberal juga, tidak penting shalat (karena itu
kulit), tapi yang penting ingat Allah (isinya) atau amalnya. Begitulah cara
mereka berfikir.Padahal Islam mengarahkan setiap pribadi manusia untuk
membina fisik dan jiwanya secara sempurna dan seimbang, tidak timpang pada
salah satunya.
Karena itu, Islam menyeru umatnya berpegang dengan akhlak mulia,
sebagaimana disampaikan dalam Alqur'an. Suri teladan umat ini yaitu Rasulullah yang telah disifati
oleh Allah dengan firman-Nya;
“Dan sesungguhnya
engkau benar-benar berada di atas akhlak yang mulia.” (QS. Al Qalam: 4)
Sa`ad bin Hisyam pernah bertanya kepada `Aisyah rodhiAllahu `anha
tentang akhlak Rasulullah, maka `Aisyah rodhiAllahu `anha menjawab, “Akhlak
beliau adalah Al Quran.” Lalu Sa`ad berkata, “Sungguh saya ingin berdiri dan
tidak lagi menanyakan sesuatu yang lain.” (HR. Muslim)
Jadi ukuran ‘baik’ dan ‘buruk’ bagi umat Islam adalah akhlaq
muliaberdasarkan Al-Quran, bukan hanya karena suka berderma atau sekedar sopan.
Tak ada artinya di hadapan Allah orang yang sopan, kalem, suka berderma jika
semua kegiatannya masih dilarang Allah.
Di Al-Quran, dua kata yang sering muncul bergandengan adalah
IMAN dan AMAL SHALIH. ‘Beriman dan beramal shalih’ merupakan salah satu frase yang
paling sering digunakan al-Qur’an. Konsep ‘iman’ disebut bersamaan dengan
konsep ‘amal shalih’ di 71 tempat dalam al-Qur’an, empat di antaranya disebut bersamaan
pula dengan konsep ‘taubat’.
Keterkaitan dua konsep itu diungkapkan secara bervariasi dan
yang paling kerap dipakai adalah redaksi “alladzina amanu wa `amilu al-shalihat”
yang terulang sebanyak 52 kali,[2] termasuk pada dua surat di muka. Kata “amanu” sendiri terulang 258 kali dalam al-Qur’an,
dan kata “`amilu al-shalihat” sendiri
terulang 53 kali.
Begitu kerapnya ‘iman’ dan ‘amal shalih’ disebut berbarengan,
seolah-olah al-Qur’an hendak memberi isyarat bahwa mereka yang beriman bukanlah
orang yang beriman kecuali jika mereka memanifestasikan keyakinan “yang mereka
miliki di dalam hati“ ke dalam perbuatan tertentu yang “pantas dilabeli
predikat“ shalih. Amal shalih, demikian Toshihiko Izutsu, secara singkat adalah
iman yang diungkapkan sepenuhnya lewat perbuatan luar. Izutsu melukiskan kaitan
antara iman dan amal shalih “seperti bayangan yang mengikuti bentuk bendanya” .
[dalam Toshihiko Izutsu, “Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an” , terj.
Agus Fahri Husein dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1983, h. 246]
“Orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang
baik.” [Alqur'an Surat Ar Ra'd : 29]
Jadi menjadi baik, suka bertetangga, rajin menabung, rajin
membantu, baik hati, sopan saja tak cukup dan tidak jadi ukuran di mata Allah.
Dia baru dianggap BAIK jika BERIMAN (bertauhid) dan BERAMAL SHALIH
(amal/kegiatan/perilakunya harus sesuai syariah). Bahasa kerennya dalam Islam amal harus meliputi 3 hal; Niat
(fikrah/konsep/isinya) harus karena Allah, metode (thariqah/kulitnya) juga
harus sesuai Allah dan cara (uslub nya) juga harus diridhoi Allah.
Jadi kalau ada orang kaya baik hati, rajin membantu, tapi
dagangannya barang haram (apalagi tidak percaya Allah), amalnya tidak akan
dinilai Allah. Dalam Surat Al-Furqan ayat 23, Allah Ta`ala menegaskan, “...Kami
jadikan amal orang-orang kafir sia-sia bagaikan debu yang beterbangan.”
Islam melihat yang benar tetaplah sebuah kebenaran. Yang
buruk tetaplah buruk. Tidak bisalah salah satunya dicampur hanya, karena
kelihatannya baik.
Jadi jika ada pernyataan; "Berjilbab, rajin shalat tapi korupsi," jelas itu salah dan
keliru!
Tidak berjilbab, bertato, (apalagi jika tak rajin shalat,
menjual barang haram, jual kodok), meski dia baik hati di mata tetangga, bahkan
sumbangan di kas desa paling banyak, maka kekeliruannya jauh lebih besar dari
yang pertama!
Semoga kita tak ‘Menjadi Liberal Tanpa Sadar”!
Oleh: AU Shalahuddin Z
Posted by: oktanhidayat@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar