Senin, 03 November 2014

Pisah Ranjang Tapi Masih Satu Rumah

Assalamu`alaikum.
Saya mau nanya tentang hubungan rumah tangga saudara saya. Sudah hampir 4 tahun mereka tidak pernah melakukan hubungan suami istri, tidur sudah pisah ranjang, bahkan suaminya jarang menyentuh sang istri, tapi mereka masih dalam satu rumah. bagaimana hukumnya secara agama?
Kemudian, sang istri selalu meminta cerai namun tidak pernah di kabulkan oleh sang suami. Sang suami hanya
 berkata, "cerai ataupun tidak, tidak ada yang bisa menghalangi saya bertemu dengan anak saya". 
Bagaimana status mereka secara agama, masih suami istri atau sudah cerai? Apa mereka haram masih satu rumah? 
Terimakasih, saya tunggu jawaban atas pertanyaan saya. 

Jawaban
Assalamu`alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba'du:
Di antara tujuan pernikahan adalah hadirnya ketenangan, cinta kasih, dan rahmah di antara suami dan isteri (QS ar-Rum: 21). Karena itu baik suami maupun isteri dituntut untuk bisa menunaikan hak dan kewajibannya dengan cara yang telah diatur oleh syariat (QS an-NisaL 34).
Namun, Jika salah satu pihak (suami atau isteri) tidak menunaikan kewajibannya serta dalam rumah tangga sudah tidak ada lagi ketenangan dan cinta kasih di antara mereka, maka harus ada upaya dari salah satu atau kedua belah pihak untuk memulihkan kondisi rumah tangga yang tidak sehat tersebut. Entah dengan nasihat, peringatan, pelibatan pihak ketiga yang adil dan bijak, serta doa dst.
Jika berbagai upaya yang diatur oleh syariat masih tidak bisa memulihkan kondisi rumah tangga, maka sikap yang bisa diambil adalah bersabar dengan kondisi tersebut sambil mengharapkan pahala dan menambatkan harapan kepada Allah; atau mengakhirinya dengan sebuah perceraian.  

Inisiatif cerai biasanya datang dari suami. Namun dalam kondisi tertentu ketika suami tidak mau menceraikan, sementara isteri dalam kondisi terzalimi, maka isteri bisa mengambil inisiatif cerai dengan melakukan gugatan cerai ke pengadilan yang disebut dengan khulu'. Hanya saja gugatan cerai tersebut memang harus didasari oleh alasan yang kuat yang dibenarkan oleh agama. 

Di antara alasan yang dibenarkan adalah jika sang suami tidak memenuhi kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah disebutkan, "Jika seorang suami tidak memberikan nafkah kepada keluarganya, maka si isteri bisa bersabar atas kondisi tersebut atau bercerai dengannya."

Permintaan cerai isteri harus ditujukan ke pengadilan agama untuk diproses sesuai dengan prosedur syariat. Jika cerai dari suami sudah jatuh dan melewati masa iddah atau gugatan cerai isteri sudah dikabulkan dan disahkan oleh pengadilan agama, maka mereka harus segera berpisah karena bukan lagi suami isteri di mana mereka tidak boleh lagi berkhalwat, menampakkan aurat, bersentuhan, dst. Sehingga kalau mereka masih tinggal dalam satu rumah maka bisa timbul banyak fitnah dan dosa. Sementara terkait dengan anak, hak pengasuhan tergantung pada kondisi anak dan orang tuanya. Yang jelas suami sebagai ayahnya meski misalnya tinggal di tempat lain masih berhak untuk bertemu dan bahkan berkewajiban untuk memberikan nafkah dan perhatian padanya.
Wallahu a'lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.

Sumber: http://www.syariahonline.com

Tidak ada komentar: