Sabtu, 07 Agustus 2010

Menyambut Cahaya Rahmat

Alhamdulillah jika kita bertemu dengan bulan berkah yang suci bulan Ramadhan. Kehadiran Ramadhan ditengah kita adalah tamu yang mulia dan bulan yang agung, yang selalu kita nantikan sepanjang tahun, kita nantikan sepanjang hari dan malam, untuk memperbaharui keimanan kita, memperkokoh semangat kita, menguatkan azimah, melepaskan beban keraguan dan kesulitan dunia, membersihkan kotoran-kotoran jiwa dan penyakit hati.
Jika Ramadhan adalah cahaya, maka kita harus memposisikan diri kita seperti seorang yang sedang terjebak dalam gua yang gelap. Maka berhari hari dengan bersusah payah mencari jalan keluar itu. Cara pertama adalah mencari celah cahaya untuk mencari jalan keluar. Begitulah seharusnya rasa kerinduan kita dalam menyambut Ramadhan untuk mengeluarkan seluruh lumut dan karat dosa diri.



Sementara jika diri kita adalah cahaya, maka ibarat peribahasa “Manikam itu jika dijatuhkan ke dalam limbahan sekalipun tidak akan pernah hilang cahayanya”. Kecemerlangan cahaya kita dalam menerangi bulan Ramadhan adalah tergantung sumber cahaya kita sendiri, sehingga seberap sumber cahaya itu seterang itulah sinar yang dipancarkan. Kita perlu bercermin diri, seberapa terang sinar diri kita untuk menyambut Ramadhan, seberapa persiapan dan kesiapan kita dalam menyambutnya.
Di bulan ini, ada 3 kelompok sikap yang menyambutnya, Pertama, orang yang menyambut dengan suka cita dan gembira, karena mengetahui nilai kemuliaan di bulan ini, maka ia mengisinya tidak hanya berpuasa tetapi ditunjang dengan amal ibadah yang lain. Kedua, orang yang menyambutnya dengan sikap biasa-biasa saja dan tetap berpuasa. Ketiga, orang yang menyambutnya dengan sikap menyesal bahkan menganggap bulan ini adalah bulan pengekangan hawa nafsu yang dianggap merugikan.
Atas sikap yang pertama, si penyambut tidak akan menyia-nyiakan kehadiran Ramadhan. Ia dianggapnya tamu jauh yang kehadirannya sangat sulit ditemui. Ia pun belum merasa yakin tamu tersebut datang mengunjunginya di tahun-tahun yang akan datang. Karenanya ia tidak ingin menyia-nyiakan setiap malam-malamnya. Ia mengerti betul hadist tentang keistimewaan Ramadhan.
Sementara terhadap kelompok yang kedua, ia tetap berpuasa. Ia tetap melaksanakan solat sebagaimana hari-hari di luar Ramadhan. Namun, ia tidak menemukan keistimewaan di dalam bulan ini. Sepulang dari aktivitas pekerjaan, ia seperti biasanya menonton tv sambil menunggu waktu berbuka, kemudian mandi, solat magrib, makan malam kemudian dilanjutkan dengan nonton tivi atau istirahat karena lelah setelah seharian bekerja. Tidak ada yang istimewa.
Sementara terhadap kelompok ketiga, ia kadang berpuasa kadang juga tidak. Aktivitas sehari-harinya lebih banyak digunakan dengan tidur karena menganggap bulan puasa sebagai bulan istirahat. Pun ia tidak berpuasa.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah, 2:183)
Dari ayat tersebut bahwa tujuan puasa adalah meraih derajat taqwa. Taqwa bukanlah sebuah perhentian tapi ia adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berhenti sampai kita menghadap ALLAH SWT, hal ini digambarkan dalam hiwar (diskusi) antara 2 orang sahabat mulia yaitu Umar bin Khattab ra dan Ubay bin Ka’ab ra, kata Umar ra : “Wahai Ubay apakah taqwa itu menurutmu?” Jawab Ubay ra : “Wahai Amirul Mu’minin pernahkah anda melalui suatu jalan yang penuh dengan duri?” Maka jawab Umar ra : “Pernah.” Kata Ubay ra : “Lalu apa yang anda lakukan ketika itu?” Jawab Umar ra : “Aku bersungguh-sungguh dan berhati-hati (IJTAHADTU WA SYAMMARTU).” Maka kata Ubay ra : “Itulah yang disebut taqwa.”
Ramadhan adalah bulan Al-Quran, dan Al-Quran adalah dustur (undang-undang) umat yang kekal, barangsiapa berkata dengannya akan benar, barangsiapa yang berhukum dengannya akan adil, barangsiapa yang menyeru kepadanya akan diberikan petunjuk ke jalan yang lurus, dan barangsiapa yang mencari pada selainnya akan disesatkan Allah. Al-Quran adalah seperempat hati, cahaya mata, tali Allah yang kokoh, cahaya yang nyata, para salafus salih banyak berpegang teguh kepadanya sehingga mereka mampu mengisi dunia dengan adil dan rahmat, cahaya dan barakah, adapun umat sekarang banyak yang lepas darinya sehingga Allah memberikan kekuasan kepada mereka atas orang yang paling jahat, menghinakan mereka dan merampas kekayaaan mereka, menjajah negeri mereka dan mengisi dunia dengan kedzaliman dan kekejaman.
Bulan ramadhan merupakan salah satu karunia dari Allah untuk umat ini, dan Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah dalam tiap-tiap hari dari kehidupan kalian ada karunia, maka berusahalah mengambilnya”, yaitu memanfaatkan untuk memperkuat iman, memperbaiki diri dan menambah kedekatan kepada Allah SWT; agar menjadi pelaku perbaikan di muka bumi dan memakmurkan dunia, memimpin umat manusia menuju kebaikan dan kebahagiaan.
Sebuah pepatah mengungkap “Rajin mengais tembolok berisi”, untuk mendapatkan hasil yang maksimal adalah tergantung buah karya kita masing-masing. Jika kita ingin diberi dengan suatu hadiah yang mulia, maka marilah kita muliakan sang tamu dengan suatu yang mulia. Istimewakanlah tamu itu, niscaya kita tidak akan menyesal di kemudian hari. Apalagi jika ternyata tanpa kita sadari dan duga, kita tidak akan bertemu lagi di Ramadhan berikutnya.Dari Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Rasulullah saw -pada suatu hari, ketika Ramadhan telah tiba- bersabda: Ramadhan telah datang kepada kalian, bulan yang penuh berkah, pada bulan itu Allah swt memberikan naungan-Nya kepada kalian. Dia turunkan Rahmat-Nya, Dia hapuskan kesalahan-kesalahan, dan Dia kabulkan do’a. pada bulan itu Allah swt akan melihat kalian berpacu melakukan kebaikan. Para malaikat berbangga dengan kalian, dan perlihatkanlah kebaikan diri kalian kepada Allah. Sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang pada bulan itu tidak mendapat Rahmat Allah swt”. (HR Ath-Thabarani) .
Agus Yulianto, S.TP