Senin, 03 November 2014

Dalil Relativisme dan Tato Bu Menteri (1)

PANAS nya suhu politik tak cukup reda setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan rivalnya Prabowo Subianto, Jumat, 17 Oktober 2014, serta pasca pengumuman Menteri Kabinet Ahad (26/10/2014).

Masyarakat jejaring sosial kembali ‘bersitegang’ dan saling serang, khususnya pasca munculnya pemandangan kurang sedap, di mana salah satu menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK, tepatnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja Jokowi-JK 2014, Susi Pudjiastuti yang tiba-tiba menjadi buah bibir masyarakat setelah merokok di hadapan wartawan usai pelantikan di Istana Merdeka Jakarta. Ia makin menjadi cibiran setelah berbagai media massa mengungkap hal-hal pribadinya, misalnya hobi memasang tato dan pernah menikah dua kali. [baca: Fadhli Zon Sebut Dua Menteri Jokowi Perlu Direvolusi Mental]

Entah karena tak siap menghadapi ‘serangan’ publik, para relawan pendukung Jokowi melalui akun “100 juta LIKE JoKoWi”  tak kalah seru. Hari Selasa (28/10/2014) mereka mengeluarkan topik bertajuk “Kontras Dua Tokoh” . Foto dua orang tokoh wanita; Susi Pudjiastuti (sebelah kiri), dan Ratu Atut Chosiyah (kanan). Dalam foto Susi Pudjiastuti, relawan menuliskan kalimat; “Satu perokok, bertato, 2 kali kawin-cerai, bergajulan tidak berjilbab dan tidak lulus SMA.” Sementara dalam foto Ratu Atut, yang nampak menggunakan jilbab, relawan menuliskan; “Satunya tak merokok, tak bertato, tak kawin cerai, santun, berjilbab pendidikan tinggi dan korupsi.”

Tak lama, para pembela dan pendukung Susi mulai bermunculan dan berkomentar. “Negara butuh petarung sejati, bukan orang munafik” ujar Yusuf Setyobudi. 
Sementara Reni Soekadi mengatakan, “Yg kiri tampil apa adanya dan natural, yg kanan muka topeng polesan duit korupsi!” 
“Dari pada pilih penampilan yang tertutup sopan santun tapi koruptor pemakan uang rakyat.mendingan milih bu Susi…jangan menilai orng dari luar nya saja..tak menjamin penampilan yang cantik berhijab tap hati nya busuk koruptor kelas kakap,” tambah akun Nining Putrie Mss.

Gelombang pembelaan dari pendukung (yang menang Pemilu) datang dari berbagai tempat dan berbagai jabatan. Bahkan pada orang-orang dengan level terdidik, seolah berusaha keras mencari pembenaran.

“Jangan cepat menilai keburukan seseorang. Yang penting ia jujur dengan penampilan, kelakuan dan tentu saja pekerjaannya. Bukan perempuan munafik yang menutup ketidakjujurannya dengan kesantunan, pakaian yang tertutup, jilbab dan segala macam simbol-simbol agama,” bagitu kata seorang manager sebuah perusahaan bonafide.
“Meski dia bertatoo dan merokok, tapi dia seorang milyuner dan dikenal dermawan,” begitu kata yang lainnya.
“Bertato itu urusan dia, yang penting bukan penjahat, dan beliau orang yang sukses karena kerja kerasnya,” tutur Eddy Yusran, pengguna Facebook.

Menjadi Liberal Tanpa Sadar

Di jaman sekarang ini, banyak kita menyaksikan orang pintar “bahkan orang terdidik”masih ikut-ikutan suatu paham atau pemikiran seseorang tokoh tanpa membaca dan menelaah pemikirannya. Kebanyakan masayarakat ikut arus opini. Apa yang dilihat dan dirasakan nampak baik dan masuk akal, namun sesungguhnya sebuah kesesatan.

Jarang sekali masyarakat punya keinginan untuk mencermati secara hati-hati pendapat yang datang dari mana-mana dan mencermati letak kekeliruannya. Kadangkala banyak opini kebencian “seolah masuk akal”sengaja ditanamkan para pemikir, pendukung tokoh untuk memperkuat perilaku sesat kepada para pemujannya.

Salah satu contoh, sering kita baca jargon-jargon yang indah disebarkan untuk mengemas paham sesat. Di antara yang banyak digunakan adalah relativisme dalam kebenaran, sehingga tampak logis dan menarik, padahal sesungguhnya tidak.

Sering ada ungkapan “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga” , “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru.”

Juga jargon-jargon menyesatkan lain, sebagaimana kalimat di tulisan pembuka, “Meski dia bertatoo dan merokok, tapi dia seorang milyuner dan dikenal dermawan.” Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh.

Relativisme (paham relatif) biasanya masuk ke ranah pemikiran keagamaan. Paham ini memang sangat destruktif terhadap pemikiran Islam, dan juga pada keyakinan iman. Selain menyesatkan, paham seperti ini akan melahirkan orang peragu (tidak memiliki iman).

Dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. Pandangan ada sejak Protagoras, tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM. Dan di jaman modern ini digunakan sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian sosiologi dan antropologi.

“Ensiklopedi Britannica menyatakan bahwa relativisme adalah sebuah pendekatan ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi dan antropologi. Relativisme ini tidak dapat dipaksakan sebagai metode untuk mengkaji kitab suci dan teks-teks keislaman (baca: al-Qur’an, Hadits, kitab-kitab tafsir dsb). Sebab, dalam epistemologi Islam, agama bukanlah bagian dari budaya atau di bawah cabang ilmu-ilmu sosial,” [Henri Shalahuddin, dalam Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan, Makalah 2007]

Pasca masuknya paham liberalisme dan relativisme ke Indonesia, kaum Muslim terus diguyur aneka rupa pemahaman menyesatkan. Debat saling bela dan saling kecam soal perilaku Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja Jokowi-JK 2014, Susi Pudjiastuti semakin menunjukkan pada kita betrapa banyak orang telah “menjadi liberal tanpa sadar”, hatta dia tokoh Islam sekalipun, bahkan rajin mengaji di masjid.

Akibat memuja pluralisme tanpa sadar, umat Islam susah lagi memebadakan mana furu’ mana ushul, mana tauhid mana syirik, antara haq mana yang bathil, dan ujungnya tak mampu membedakan lagi mana antara iman dan kufur.

Karena itu, seorang cendekiawan Muslim yang dikenal produktif menulis buku, Dr Adian Husaini pernah menyindir, negara harusnya berperan akar tanya banyak warga menjadi ‘liberal tanpa sadar ini. Masalahnya, negara dan pejabat tak lagi peka urusan agama atau aliran. Bahkan apakah rakyatnya menyembah Tuhan atau menyembah Tuyul seolah sudah tak peduli.

*/bersambung...
 “...Yang Baik belum tentu Benar di mata Allah..”

Oleh: AU Shalahuddin Z
Posted by: oktanhidayat@yahoo.com

Tidak ada komentar: