PANAS nya suhu politik tak cukup reda setelah pertemuan
Presiden Joko Widodo dengan rivalnya Prabowo Subianto, Jumat, 17 Oktober 2014,
serta pasca pengumuman Menteri Kabinet Ahad (26/10/2014).
Masyarakat jejaring sosial kembali ‘bersitegang’ dan saling
serang, khususnya pasca munculnya pemandangan kurang sedap, di mana salah satu
menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK, tepatnya, Menteri Kelautan dan Perikanan
Kabinet Kerja Jokowi-JK 2014, Susi Pudjiastuti yang tiba-tiba menjadi buah
bibir masyarakat setelah merokok di hadapan wartawan usai pelantikan di Istana
Merdeka Jakarta. Ia makin menjadi cibiran setelah berbagai media massa
mengungkap hal-hal pribadinya, misalnya hobi memasang tato dan pernah menikah
dua kali. [baca: Fadhli Zon Sebut Dua Menteri Jokowi Perlu Direvolusi Mental]
Entah karena tak siap menghadapi ‘serangan’ publik, para
relawan pendukung Jokowi melalui akun “100 juta LIKE JoKoWi” tak kalah seru. Hari Selasa (28/10/2014)
mereka mengeluarkan topik bertajuk “Kontras Dua Tokoh” . Foto dua orang tokoh
wanita; Susi Pudjiastuti (sebelah kiri), dan Ratu Atut Chosiyah (kanan). Dalam
foto Susi Pudjiastuti, relawan menuliskan kalimat; “Satu perokok, bertato, 2
kali kawin-cerai, bergajulan tidak berjilbab dan tidak lulus SMA.” Sementara dalam foto Ratu Atut, yang nampak menggunakan
jilbab, relawan menuliskan; “Satunya tak merokok, tak bertato, tak kawin cerai,
santun, berjilbab pendidikan tinggi dan korupsi.”
Tak lama, para pembela dan pendukung Susi mulai bermunculan
dan berkomentar. “Negara butuh petarung sejati, bukan orang munafik” ujar
Yusuf Setyobudi.
Sementara Reni Soekadi mengatakan, “Yg kiri tampil apa adanya
dan natural, yg kanan muka topeng polesan duit korupsi!”
“Dari pada pilih penampilan yang tertutup sopan santun tapi
koruptor pemakan uang rakyat.mendingan milih bu Susi…jangan menilai orng dari
luar nya saja..tak menjamin penampilan yang cantik berhijab tap hati nya busuk
koruptor kelas kakap,” tambah akun Nining Putrie Mss.
Gelombang pembelaan dari pendukung (yang menang Pemilu)
datang dari berbagai tempat dan berbagai jabatan. Bahkan pada orang-orang
dengan level terdidik, seolah berusaha keras mencari pembenaran.
“Jangan cepat menilai keburukan seseorang. Yang penting ia
jujur dengan penampilan, kelakuan dan tentu saja pekerjaannya. Bukan perempuan
munafik yang menutup ketidakjujurannya dengan kesantunan, pakaian yang
tertutup, jilbab dan segala macam simbol-simbol agama,” bagitu kata seorang
manager sebuah perusahaan bonafide.
“Meski dia bertatoo dan merokok, tapi dia seorang milyuner
dan dikenal dermawan,” begitu kata yang lainnya.
“Bertato itu urusan dia, yang penting bukan penjahat, dan
beliau orang yang sukses karena kerja kerasnya,” tutur Eddy Yusran, pengguna
Facebook.
Menjadi Liberal Tanpa Sadar
Di jaman sekarang ini, banyak kita menyaksikan orang pintar
“bahkan orang terdidik”masih ikut-ikutan suatu paham atau pemikiran seseorang
tokoh tanpa membaca dan menelaah pemikirannya. Kebanyakan masayarakat ikut arus
opini. Apa yang dilihat dan dirasakan nampak baik dan masuk akal, namun
sesungguhnya sebuah kesesatan.
Jarang sekali masyarakat punya keinginan untuk mencermati
secara hati-hati pendapat yang datang dari mana-mana dan mencermati letak
kekeliruannya. Kadangkala banyak opini kebencian “seolah masuk akal”sengaja
ditanamkan para pemikir, pendukung tokoh untuk memperkuat perilaku sesat kepada
para pemujannya.
Salah satu contoh, sering kita baca jargon-jargon yang indah
disebarkan untuk mengemas paham sesat. Di antara yang banyak digunakan adalah
relativisme dalam kebenaran, sehingga tampak logis dan menarik, padahal
sesungguhnya tidak.
Sering ada ungkapan “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran
keagamaan adalah relatif, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran
produk akal manusia adalah relatif juga” , “tafsir adalah produk akal manusia,
sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia
masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan
bisa saja keliru.”
Juga jargon-jargon menyesatkan lain, sebagaimana kalimat di
tulisan pembuka, “Meski dia bertatoo dan merokok, tapi dia seorang milyuner dan
dikenal dermawan.” Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika
tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan
terpengaruh.
Relativisme (paham relatif) biasanya masuk ke ranah
pemikiran keagamaan. Paham ini memang sangat destruktif terhadap pemikiran
Islam, dan juga pada keyakinan iman. Selain menyesatkan, paham seperti ini akan
melahirkan orang peragu (tidak memiliki iman).
Dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah;
baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan
bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
Pandangan ada sejak Protagoras, tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM. Dan di
jaman modern ini digunakan sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian sosiologi dan
antropologi.
“Ensiklopedi Britannica menyatakan bahwa relativisme adalah
sebuah pendekatan ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi dan
antropologi. Relativisme ini tidak dapat dipaksakan sebagai metode untuk
mengkaji kitab suci dan teks-teks keislaman (baca: al-Qur’an, Hadits,
kitab-kitab tafsir dsb). Sebab, dalam epistemologi Islam, agama bukanlah bagian
dari budaya atau di bawah cabang ilmu-ilmu sosial,” [Henri Shalahuddin, dalam
Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan, Makalah 2007]
Pasca masuknya paham liberalisme dan relativisme ke
Indonesia, kaum Muslim terus diguyur aneka rupa pemahaman menyesatkan. Debat
saling bela dan saling kecam soal perilaku Menteri Kelautan dan Perikanan
Kabinet Kerja Jokowi-JK 2014, Susi Pudjiastuti semakin menunjukkan pada kita betrapa
banyak orang telah “menjadi liberal tanpa sadar”, hatta dia tokoh Islam
sekalipun, bahkan rajin mengaji di masjid.
Akibat memuja pluralisme tanpa sadar, umat Islam susah lagi
memebadakan mana furu’ mana ushul, mana tauhid mana syirik, antara haq mana
yang bathil, dan ujungnya tak mampu membedakan lagi mana antara iman dan kufur.
Karena itu, seorang cendekiawan Muslim yang dikenal
produktif menulis buku, Dr Adian Husaini pernah menyindir, negara harusnya
berperan akar tanya banyak warga menjadi ‘liberal tanpa sadar ini. Masalahnya,
negara dan pejabat tak lagi peka urusan agama atau aliran. Bahkan apakah
rakyatnya menyembah Tuhan atau menyembah Tuyul seolah sudah tak
peduli.
*/bersambung...
“...Yang Baik belum
tentu Benar di mata Allah..”
Oleh: AU Shalahuddin Z
Posted by: oktanhidayat@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar