Minggu, 28 September 2014

Kita Bahagia ada Tuna Wisma?

Terus terang selama ini saya hanya mendengar dari cerita atau sinetron, novel atau yang lainnya mengenai informasi keberadaan manusia kardus, manusia gerobak, keluarga bawah kolong atau istilah-istilah yang semacam itu yang kita kenal dengan tuna wisma. Di Mekkah pernah terjadi kehebohan mengenai masalah pemukiman semacam itu terhadap anak bangsa ini yang tinggal di sana. Di berbagai daerah juga terdengar berita-berita penggusuran atau pelarangan keluarga-keluarga yang tidur di teras rumah. Di sebuah acara televisi juga pernah ditayangkan sekeluarga dengan beberapa anaknya tidur berpindah-pindah dari ruko dan teras rumah pinggir jalan yang mendapat hadiah rumah dari penolong misterius.

Dua hari yang lalu saya disuguhi keluarga yang seperti itu oleh Allah dengan real time, asli di depan mata. Sekeluarga terdiri dari suami, istri dan seorang yang sudah lanjut usia (nenek). 

Pengalaman sekilas yang mengharukan bagi saya. Bermula dari proses pencarian jalur dari Cimanggis, Cibubur dan Depok pada jam 2.30 malam waktu Indonesia barat, keluar dari penginapan untuk menuju Depok menjenguk ananda tersayang. Setelah berjalan beberapa menit sambil menunggu angkot mencoba terus berjalan kaki, ternyata ada persimpangan dua jalan pilihan yang sama besarnya. Mau tidak mau harus mencari tahu jalan mana yang harus dipilih menuju lampu merah pertigaan Cibubur.

"Maaf Bapak, jalan mana yang harus dipilih untuk samapi ke lampu merah Cibubur?"
"Oh sini Pak, Bapak jalan terus sampai ada pertigaan amabil ke arah kanan terus ikuti jalan sampai ada lampu merah setelah pasar" jawab sang Bapak dengan tulus, sambil berkemas barang-barang, tikar dan apa lagi saya tidak terlalu perhatian (dalam benak saya keluarga ini habis jualan nasi atau jajan berkemas mau pulang).
Lalu saya sampaikan ucapan terima kasih sambil jalan berharap ada angkot lewat. 
Belum jauh berjalan, sang Bapak yang baik hati itu sedikit berteriak "Tapi lumayan jauh Pak, sebaiknya nunggu angkot saja sebentar lagi paling juga lewat."
"Ya Pak, terima kasih" jawab saya sedikit agak kenceng sambil menengok ke arah Bapak itu. Sehingga setelah beberapa saat saya meneruskan berjalan kaki sambil berfikir, akhirnya berdiri mematung di pinggir jalan berharap ada angkot lewat. Di kejauhan terlihat keluarga itu berjalan menuju ke arah saya, seorang nenek di atas gerobak, sedangkan bapak itu dan istrinya berjalan berdampingan mendorong dengan kompak. Senakin dekat semakin tampak jelas rombongan tersebut tetap dalam perhatian saya. Tiba-tiba mereka berbelok ke kanan jalan dengan sedikit diskusi di antara mereka, akhirnya diputuskan tetap di situ di bawah teras Warteg.

Digelarkan tiker dan sang nenek yang sdh renta dan terlihat sakit serta lemah itu diangkat sang Bapak, ditdurkan di tikar yang telah disiapkan, bersamaan dengan istrinya mempersiapkan bantal untuk sang nenek, lalu dikemuli dengan hangat. karena penasaran saya mendekat berjalan menyeberang jalan. Sang nenek sudah terlihat nyaman berkemul dan memejamkan mata. Tikar kedua disiapkan dan digelar di samping nenek, diletakkan dua bantal yang sederhana tanpa pelapis (kurung bantal). Bapak itu mengambil sarung utk kemul. Dibukalah kotak kecil berisi sarung dan beberapa pakaian serta peralatan seadanya.

Sambil mereka mempersiapkan tempat tidur saya sempatkan untuk mencari tahu.
"Tadi kanapa pindah dari sana?" mencoba jadi detektif.
"Itu ada anak-anak mabuk... makanya pindah di mari"
"Emang Bapak ini asalnya dari mana?"
"Dari Priok, di Priok itu pun di bawah Tol. Kita mah sudah biasa dimana aja, mana yang bisa dipake tidur" kurang lebih itu jawaban istrinya. 
"Terus mandinya dimana?"
"Di POM Bensin, kalo nggak ya di pasar"
Setelah jawaban itu saya tak sanggup bertanya apa-apa lagi, selain termangu dan mencoba memotret melalui HP yang ternyata tidak begitu jelas karena tidak ada fasilitas nyala blitznya. Mereka dengan cueknya meninggalkan saya sendirian di samping gerobak itu, mereka merebahkan diri dan berkemul berdampingan, sepertinya menikmati tidur yang tertunda. Saya perhatikan mata mereka betul-betul terpejam. Kecuali sang Bapak yang masih terlihat gerakan sepertinya sedikit dipaksakan untuk dipejamkan. Beberapa saat saya perhatikan tidur mereka...dalam hati "Ya Allah ternyata memang ada profil keluarga seperti ini di kota ini". Semakin diperhatikan, semakin menyayat hati..."Ya Allah maafkan kami orang-orang di sekitar mereka yang tak tahu harus berbuat apa".
Saya ambil dompet yang tinggal beberapa rupiah, aku beranikan diri membangunkan Bapak itu untuk menyodorkan uang yang hanya cepek itu.
"Terima kasih Pak" kata Bapak itu, namun tidak terlihat antusias, mngkin karena mengantuk saya tinggalkan mereka, namun mereka tetap berbaring ketika saya ijin pamit.

Saya teruskan berjalan, sambil berfikir dan merasakan betapa kalo saya yang seperti itu mungkin seperti apa rasanya. Dada ini bergolak, tak terasa air mata menetes iba... Tapi mereka tak terlihat sangat berduka, semuanya seperti biasa-biasa saja. namun saya tetep berharap suatu saat bisa bertemu pasangan suami istri itu lagi. Siangnya melewati jalan itu lagi, tapi tak terlihat tanda-tanda mereka di sekitar itu. Ya Allah terima kasih dan puji syukur atas karuniaMu. Kami bahagia dengan segala yang Engkau berikan. Berkahilah hidup kami, jadikan kami termasuk HambaMu yang pandai bersyukur. (jul)

Tidak ada komentar: